Minggu, 14 Oktober 2012

Study kasus tentang pengambilan keputusan

CONTOH DARI TIPE-TIPE PENGAMBILAN KEPUTUSAN
(DALAM BENTUK CERITA ATAU STUDY KASUS)


Jurnalistik yaitu aktivitas yang berkenaan dengan catatan atau suatu laporan kejadian setiap harinya. Jurnalis bebas berpendapat, mengeluarkan pikiran baik secara lisan maupun tulisan. Demi menegakkan kebebasan pers yang bertanggungjawab, pemerintah memberikan wewenang pada PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dengan menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh wartawan Indonesia.
Kebebasan yang ditonjolkan oleh wartawan gosip sendiri merupakan kebebasan yang tidak bertanggungjawab dengan melanggar kode etik yang telah ditetapkan seperti cara mengejar narasumber, etika wawancara, etika mengambil gambar, etika menghargai hak-hak privasi narasumber, dan menerima amplop, misalnya. Dan mereka tetap mengartikannya sebagai kegiatan jurnalistik.
Seperti yang dijelaskan di bab latar belakang, permasalahan ini memunculkan dua kubu, yaitu kubu pro dan kontra. Kelompok yang pro, yang diwakili oleh PWI menegaskan bahwa mereka pekerja infotaimen adalah sah disebut sebagai wartawan dengan alasan kegiatan infotaimen menunjukkan aktifitas jurnalistik. Seperti membawa kamera, tape recording dan notes. Mereka juga melakukan aktifitas liputan dan memburu subyek dan obyek sebagai berita. Meskipun secara substansial sangat cocok dengan peralatan jurnalistik, namun pekerjaan mereka lebih dekat pada gosip atau ghibah. Seperti mengejar dan memproduksi gosip selebritas, membuka aib keluarga orang seperti perceraian dan perselingkuhan para artis dan semacam lainnya.
Sementara kelompok kontra yang diwakili oleh Aliansi Junarlistik Indonesia (AJI) menolak identitas kewartawanan pekerja infotainmen dengan alasan bahwa jurnalisme merupakan sebuah tujuan moralitas kemanusiaan. Dengan demikian, wartawan dalam konteks jurnalisme merupakan pekerjaan mulia yang memberikan nilai edukatif dan pencerahan bagi masyarakat luas. Dan aktifitas yang mengatasnamakan tugas jurnalistik tanpa menimbang etika dan tujuan moral jurnalisme, bukanlah termasuk dalam kelompok wartawan, tetapi hanya merupakan pekerja kreatif.
Mungkin alasan yang dipaparkan oleh PWI ada benarnya, bahwa wartawan jurnalistik menggunakan alat-alat jurnalistik seperti camera dan tape recorder. Tapi soal Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh PWI sendiri, jelas-jelas mereka melanggarnya.
UU Pers 40/1999 ayat 3 juga telah menyebutkan bahwa Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Maksudnya yaitu sebagai oreintasi kepentingan umum yang memiliki nilai-nilai edukatif dan pencerahan pada masyarakat bangsa. Bukan sekedar memberikan hiburan yang menggerus moral anak bangsa seperti produk gosip.
Koreksi selanjutnya adalah fakta perbagai pelanggaran kode etik wartawan (KEWI) yang dilakukan para pekerja infotainment tanpa malu-malu seperti melanggar hak privasi, sopan santun, praktek menekan kaidah off the record dan lain sebaginya. Tindakkan yang merupakan sebuah sikap pengkhianatan terhadap kemapanan tujuan jurnalisme murni yang sesuai dengan kode etik.
Menurut MUI, format penyajian pekerja infotainment juga tidak edukatif dan tidak bermanfaat bagi kepentingan umum, untuk itulah akhirnya MUI mengeluarkan fatwa haram untuk tidak menyaksikan acara infotaiment. Karena itu, perlu dilakukan penertiban terhadap format materi infotainment yang secara normatif sebenarnya tidak layak dikonsumsi. Ketidaklayakan itu dikarenakan infotainment pada umumnya hanya berisi gosip dan pengeksposan terhadap kehidupan pribadi yang tak jarang berujung pada fitnah.
Menanggapi hal tersebut, PWI justru menyambut baik fatwa MUI yang mengharamkan berita bohong, isapan jempol dan bersifat membuka aib orang lain untuk disiarkan di media massa, baik cetak elektronik televisi dan radio, serta portal berita Internet. Menurut mereka, fatwa itu sejalan dengan prinsip PWI bahwa hanya infotainmen yang tunduk kepada Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan taat Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang dapat diakui sebagai karya jurnalistik. (Antara, 28/7/2010). Namun melihat kenyataan yang ada saat sekarang, wartawan infotainment tampaknya selalu bergelut dengan kemelencengan kode etik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar